Kebijakan Tata Ruang




PENGARUH KOMUNIKASI, SUMBERDAYA, DISPOSISI  DAN 
STRUKTUR BIROKRASI TERHADAP PERKEMBANGAN 
PROGRAM PUSAT KEGIATAN NASIONAL (PKN)

(STUDI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TATA RUANG PROVINSI JAWA BARAT 
DI WILAYAH PKN METROPOLITAN BANDUNG) 
 Penelitian tahun 2006-2007

ABSTRAK

            Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Jawa Barat 2010 terdapat program perencanaan yang khusus diperuntukkan guna mengatur sistem pertumbuhan perkotaan, yaitu Rencana Program PKN Metropolitan Bandung yang terdapat di 2 (dua) wilayah Pemerintahan Daerah otonom, yakni Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Secara hierarkis,  Pemerintahan Provinsi mempunyai kewenangan untuk mengatur program pembangunan yang bersifat lintas daerah. Akan tetapi, pada sisi lain, pemerintahan Kota maupun pemerintahan Kabupaten mempunyai otonomi atas kebijakan pembangunan diwilayahnya masing-masing. Situasi ini menjadi masalah ketika terjadi kontradiksi kepentingan antara pemerintahan provinsi dengan pemerintahan kota atau kabupaten.
           
            Kontradiksi kepentingan yang mengemuka diantaranya adalah menyangkut perbedaan urutan prioritas dalam sistem perencanan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, hal ini menyebabkan tersendatnya kelancaran pelaksanaan kebijakan program PKN ini, sementara pada tingkat para pelaksana teknis (leading sectors), hubungan kerjasama yang akseleratif sangat mutlak diperlukan, hubungan kerjasama yang dimaksud bisa bersifat horisontal (sesama unsur pemerintahan yang setingkat) maupun vertikal  (antara Pemkab/Pemkot dengan Pemprov).
           
            Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif & kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel dan menguji variabel tersebut sesuai dengan hipotesis yang dirumuskan. Sementara metode kualitatif digunakan sebagai penunjang yang diharapkan dapat membantu interpretasi hubungan antar variabel terutama alasan bagi hubungan tersebut
           

            Hasil penelitian menujukkan pengaruh yang diberikan oleh keempat faktor tersebut terbukti secara nyata mempengaruhi perkembangan program PKN Metropolitan Bandung. Sementara, faktor komunikasi merupakan faktor yang paling lemah berperan didalam pelaksanaan program PKN Metropolitan Bandung Kelemahan ini mengandung arti bahwa hubungan antar dan lintas pemerintahan memerlukan kordinasi dan sosialisasi yang lebih intensif lagi.  Hasil ini diperkuat dengan fakta di lapangan tentang tidak terdapatnya lembaga yang bersifat lintas pemerintahan, yang secara khusus mempunyai kewenangan dalam menangani PKN Metropolitan Bandung ini.



PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian
Implementasi kebijakan merupakan proses yang krusial dalam kebijakan publik. Tanpa adanya implementasi kebijakan, sebuah kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan diatas meja para pejabat. Begitupun halnya dengan kebijakan Tata Ruang Wilayah Provinsi Jabar, yang telah menjadi Peraturan Daerah No.2 tahun 2003, jika tidak terimplementasi sebagaimana yang direncanakan, maka program tersebut hanyalah akan menjadi sebuah kebijakan program tanpa kejelasan manfaatnya. 

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (UUPR), ditindaklanjuti dengan PP.No.47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), paradigma pembangunan di Indonesia mulai menujukan pergeseran menuju suatu model pembangunan yang lebih transparan, terencana serta lebih mengedepankan pendekatan partisipasif. Seiring dengan bergulirnya UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka asas disentralisasi dan dekonsentrasi dalam pembangunan di daerah memungkinkan bagi pemerintahan daerah untuk menetapkan rencana pembangunannya sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan masyarakatnya. 

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat (RTRWP Jabar) adalah rencana struktur tata ruang provinsi yang mengatur struktur dan pola tata ruang wilayah provinsi. Fungsi Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi Jawa Barat adalah sebagai penyelaras kebijakan penataaan ruang Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota serta sebagai acuan kebijakan pembangunan daerah (Rencana Pembangunan Lima Tahunan, Rencana Pembangunan Tahunan, Rencana Anggaran Pembangunan Daerah) ditingkat provinsi, khususnya yang mengatur struktur dan pola tata ruang wilayah. Kehendak yang ingin diwujudkan dalam perencanaan ketataruangan tersebut adalah konsep pembangunan yang terpadu, berjenjang, dan partisipatif. Terpadu dalam pengertian adanya kesatuan dalam perencanaan dan pelaksanaannya; berjenjang dalam pengertian adanya keselarasan antara perencanaan nasional, Provinsi, dan kabupaten/ kota; dan partisipatif dalam pengertian membuka peluang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta dalam setiap tahap pelaksanaannya. 

Manifestasi nilai-nilai dari konsep terpadu bertujuan untuk mengintegrasikan antara kepentingan pembangunan dengan konsepsi bentuk kenegaraan Republik Indonesia yang menganut asas negara kesatuan (NKRI), konsep berjenjang bertujuan agar sistem pembangunan berjalan sesuai dengan porsi strata pemerintahan, mulai dari pemerintahan nasional, pemerintahan provinsi, hingga pemerintahan kabupaten / kota. Sedangkan konsep Partisipatif  bertujuan agar arah mekanisme pembangunan dimulai dari aspirasi masyarakat (bottom up), sehingga dalam hal ini pemerintahan berfungsi sebagai fasilitator dengan semangat pengelolaan sistem organisasi yang terbuka dan transparan.

Dengan mengacu kepada RTRWN, maka melalui Perda No.2. Tahun 2003 ditetapkanlah RTRWP Jabar. Kebijakan tersebut telah menempatkan fungsi RTRWP Jabar sebagai pedoman untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah provinsi serta keserasian antar sektor, pedoman penataan ruang wilayah kabupaten/kota, dan pedoman pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan atau masyarakat.  Lingkup substansi RTRWP Jabar secara garis besar meliputi struktur dan pola tata ruang yang didasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam rangka mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Adapun dimensi waktu perencanaan RTRWP Jabar ini adalah sampai dengan tahun 2010. Hal ini sesuai dengan pencapaian Visi Jawa Barat tahun 2010 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 yang menetapkan dimensi waktu perencanaan tata ruang provinsi adalah 15 tahun (RTRWP Jawa Barat 2010 sebagai hasil revisi RTRW DT I Provinsi I Jawa Barat tahun 1994 sebelum Banten menjadi provinsi tersendiri).

Pengaturan sistem kota-kota sebagai perwujudan dari struktur tata ruang di wilayah Jawa Barat, didalam blueprint Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jabar dibagi menjadi 3 (tiga) pusat pertumbuhan utama yang jangkauan pelayanannya mencakup skala pelayanan nasional, yaitu Metropolitan Bodebek (Bogor-Depok-Bekasi), Metropolitan Bandung (Kota/Kab Bandung-Sumedang), dan Metropolitan Cirebon (Kota dan Kabupaten Cirebon). Pusat pertumbuhan utama ini selanjutnya dikatakan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Definisi dari PKN adalah :

“Kota yang mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional dan mempunyai potensi untuk mendorong daerah sekitarnya sebagai pusat jasa, pusat pengolahan, simpul transportasi yang melayani beberapa provinsi dan nasional, dengan kriteria penentuan : kota yang mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan untuk mendorong daerah sekitarnya, pusat jasa-jasa pelayanan keuangan/bank yang cakupan pelayanannya berskala nasional/beberapa provinsi, pusat pengolahan/pengumpul barang secara nasional/beberapa provinsi, simpul transportasi secara nasional/beberapa provinsi, jasa pemerintahan untuk nasional/beberapa provinsi, jasa publik yang lain untuk nasional/beberapa provinsi” (Penjelasan PP No.47 tahun 1997 tentang RTRWN, Bab III Pasal 14 ayat 3).


Dari ketiga wilayah PKN tersebut penulis telah memilih wilayah PKN Metropolitan Bandung sebagai obyek penelitian dalam tesis ini. PKN Metropolitan Bandung di dalam RTRWP Jabar 2010 tercantum 8 (delapan) aspek pengembangan dan penataan program pembangunan yaitu :
a. Pembangunan terminal terpadu di Gedebage.
b. Pembangunan TPA regional di Pasirdurung.
c. Peningkatan kapasitas pelayanan Bandara Hussein Sastranegara.
d. Pembangunan terminal agribisnis di Lembang.
e. Pengembangan IPLT di Kota Bandung.
f.  Pembangunan rumah susun di Kota Bandung.
g. Peningkatan kapasitas pelayanan air bersih di kawasan perkotaan.
h. Pengembangan angkutan massal di Metropolitan Bandung.
(RTRWP Jabar 2010, hal.80, Bapeda Jabar)

Kedelapan aspek inilah yang akan menjadi indikator dari perwujudan kebijakan PKN Metropolitan Bandung. Sebagaimana peruntukan sebuah wilayah PKN, maka kordinasi antar pemerintahan mutlak diperlukan. Kordinasi yang dimaksud disini adalah hubungan kerjasama antara Pemerintahan Nasional, Pemerintahan Provinsi Jawa Barat, Pemerintahan Kota Bandung, serta Pemerintahan  Kabupaten Bandung. 
Masalah yang melatarbelakangi penelitian ini adalah, pada prakteknya dilapangan, muncul ketidaksesuaian antara implementasi tata ruang kota/kabupaten dengan yang dikehendaki didalam kebijakan tata ruang Provinsi Jabar. Pada konteks PKN Metropolitan Bandung, yang mencakup 2 wilayah yakni Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, terdapat kecenderungan permasalahan yang sama yakni adanya inkonsistensi diantara dua level produk kebijakan tata ruang tersebut.

Didalam mengkaji masalah yang berkaitan dengan implementasi kebijakan, George Edwards III, dalam bukunya berjudul Implementing Public Policy, 1980. Menggunakan dua pertanyaan kunci tentang implementasi yakni: “What are the preconditions for successful policy implementation?”,  “What are the primary obstacles to successful policy implementation?”. (9:1980). Dalam bahasa Indonesianya: “Prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil?”, serta “Hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal?”. 

Edwards kemudian berusaha menjawab dua buah pertanyaan penting ini dengan mengungkap empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik. Faktor tersebut adalah Communication (komunikasi), Resources (sumber daya), Dispositions (disposisi), serta Bureaucratic Structure (struktur birokrasi). Karena keempat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain dalam membantu atau menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan yang ideal adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas semua faktor-faktor itu sekaligus.

Persoalan ketidakkonsistenan didalam suatu implementasi kebijakan seperti yang terjadi dalam tata ruang wilayah Jabar tentang PKN di Wilayah Metropolitan Bandung ini, Lester & Stewart, dalam buku Public Policy: an Evolutionary Approach, 2000,  telah mengingatkan tentang kerumitan dan kompleksitas suatu proses implementasi. Kerumitan tersebut disebabkan oleh banyak faktor, baik yang menyangkut karakteristik program maupun aktor-aktor yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan. Menurut Lester & Stewart : 
“Pelaku dalam implementasi kebijakan meliputi birokrasi, legislatif, lembaga peradilan, kelompok penekan dan komunitas organisasi. Masing-masing pelaku kebijakan ini mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, sehingga penerimaan terhadap suatu implementasi kebijakan akan beragam”. (105:2000)  

Sebagai tinjauan historis, Pasca UU No.22 tentang Otonomi Daerah 2001 diterapkan, muncul persoalan dibidang sistem kordinasi pemerintahan antara provinsi dengan Kabupaten/kota. Padahal realitasnya, banyak aspek yang saling ketergantungan (inter-dependensi) antara wilayah kabupaten/kota yang satu dengan wilayah kabupaten/kota yang lainnya. Misalnya, dalam aspek daya dukung alam seperti hutan, sungai,dsb. Wilayah lingkungan alam tersebut tidak bisa dipisahkan sebagaimana mudahnya pembagian administratif, akan tetapi penanganannya harus ditangani secara terpadu antar pemerintahan daerah. Jika tidak, maka dikhawatirkan akan terjadi eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran dengan dalih meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun merusak sistem ekologi yang ada diwilayah tersebut. Begitupun dampak negatif lainnya mungkin dapat terjadi dibidang ekonomi bahkan Hankam. UU No.22, Tentang Otda tahun 2001 tersebut kemudian direvisi dengan UU. No.32, Tentang Pemerintahan Daerah 2004, dimana kedudukan Pemerintahan Provinsi mempunyai kewenangan politik yang lebih besar terhadap pemerintahan kabupaten/kota. Berkenaan dengan hal inilah, RTRWP Jabar seyogyanya dapat lebih mempunyai daya akomodasi yang lebih besar terhadap perencanaan, penyusunan serta pelaksanaan program pembangunan di wilayah kabupaten/kota. 

Proses penyusunan RTRWP Jabar 2010 sebagaimana yang tercantum didalam lampiran blueprint yang diterbitkan oleh Bappeda provinsi Jabar telah melalui tahapan-tahapan yang sistematis, yakni (A) Proses Input Aspirasi Publik, (B). Proses Penyusunan Draft, serta (C). Proses Kesepakatan Publik. Pemerintahan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat turut terlibat dalam proses penyusunan RTRW Provinsi Jabar ini. Lembaga swadaya masyarakat dan akademisi juga turut serta. Artinya, bahwa keberadaan RTRW Provinsi Jabar ini merupakan produk kebijakan yang berangkat dari hasil konsensus bersama dari berbagai elemen di Jawa Barat. Jika dikaitkan dengan disiplin ilmu kebijakan publik, maka secara teoritis tahapan ”perumusan kebijakan” telah dilalui.

Konsepsi ketata-ruangan haruslah merupakan konsep yang terintegrasi berdasarkan hierarkis pemerintahan, namun kendala yang muncul adalah kuatnya segmentasi kedaerahan yang terjadi di pemerintahan Kabupaten/Kota. Hal tersebut menimbulkan adanya ketidaksesuaian antara perencanaan tata ruang Kabupaten/Kota dengan perencanaan tata ruang provinsi. Dengan interpretasi masing-masing tentang perencanaan tata ruang, setiap Kabupaten/Kota mengembangkan kebijakan pembangunan jangka menengah dan jangka pendek kedalam program pembangunannya masing-masing. 

PKN Metropolitan Bandung, adalah merupakan program yang menyangkut kepentingan nasional, kepentingan provinsi, serta kepentingan wilayah Kabupaten dan kota Bandung. Karenanya, kerjasama antara ketiga komponen pemerintahan ini mutlak diperlukan. Guna menelaah fenomena tersebut, peneliti mempergunakan telaah Deskriptif, yakni dengan cara menganalisa parameter-parameter yang dipandang sebagai determinan, tujuannya ialah mempunyai gambaran secara menyeluruh mengenai faktor-faktor pengaruh dalam implementasi rencana PKN Metropolitan Bandung tersebut. 

Berdasarkan target waktu pencapaiannya dalam RTRWP Jabar, PKN Metropolitan Bandung, harus sudah terimplementasi dan terwujud pada tahun 2010. Mempelajari implementasi kebijakan menurut Samodra Wibawa adalah merupakan suatu analisis yang bersifat evaluatif, dengan konsekuensi lebih melakukan restropektif ketimbang prospeksi. Implementasi berusaha mengenali sejauh mana efek yang semula direncanakan untuk dicapai oleh kebijakan telah terealisir, dan dampak apa yang ditimbulkan olehnya. Evaluasi mempunyai tujuan ganda yakni (a) memberikan informasi kepada pembuat kebijakan tentang bagaimana program-program mereka berlangsung atau dijalankan, dan (b) menunjukan faktor-faktor yang dapat dimanipulasi (diubah) agar supaya diperoleh pencapaian hasil secara lebih baik, untuk kemudian memberikan alternatif kebijakan baru atau cara baru dalam implementasi kebijakan. 

1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah ditetapkan dalam pernyataan penelitian (research statement) yang mengandung unsur deskripsi umum, khusus, fenomental beserta sekuennya, fenomena pada lokus penelitian adalah: “Faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi implementasi kebijakan belum optimal mempengaruhi perkembangan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) di wilayah metropolitan Bandung” 
Pernyataan penelitian tersebut dijabarkan menjadi rumusan masalah (problem question) sebagai berikut :
1.Bagaimanakah pengaruh komunikasi terhadap perkembangan PKN di wilayah Metropolitan Bandung ?
2.Bagaimanakah pengaruh sumberdaya terhadap perkembangan PKN di wilayah Metropolitan Bandung ?
3.Bagaimanakah pengaruh disposisi terhadap perkembangan PKN di wilayah Metropolitan Bandung ?
4.Bagaimanakah pengaruh struktur birokrasi terhadap perkembangan PKN di wilayah Metropolitan Bandung ?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis perkembangan PKN di wilayah Metropolitan Bandung dengan mempergunakan model yang dikemukakan oleh Goerge Edwards III, tentang faktor-faktor kritis (critical factors) yang mempengaruhi suatu produk implementasi kebijakan. Faktor-faktor kritis tersebut adalah komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi.

1.3.2 Tujuan Penelitian
1. Mengkaji dan menganalisis tentang permasalahan perkembangan PKN di Wilayah Metropolitan Bandung sehingga diperoleh informasi ilmiah tentang faktor-faktor yang menjadi kendala didalam implementasi kebijakan tersebut.
2. Meninjau implementasi kebijakan PKN Metropolitan Bandung dari sisi hubungan interaksi dan kerjasama para pelaksana kebijakan di pemerintahan provinsi Jawa Barat dengan pemerintahan Kota Bandung & Kabupaten Bandung.

1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoritis
Menjabarkan, menguji dan mengeksplanasi teori atau model Implementasi kebijakan, dalam suatu kasus kebijakan yang telah diimplementasikan. Sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan studi ilmu Kebijakan Publik, serta bagi kepentingan penelitian lebih lanjut.
1.4.2. Kegunaan Praktis

Memberikan perspektif hasil penelitian kepada para pengambil kebijakan mengenai evaluasi program PKN Metropolitan Bandung. Penelitian ini juga diharapkan dapat merekomendasikan suatu model kordinasi kebijakan, yang mungkin bermanfaat bagi kepentingan kebijakan publik disektor lainnya. 






Birokrasi Indonesia: Agenda yang terlupakan


PENDAHULAN

Birokrasi di berbagai negara umumnya selalu mengikuti dinamika politik yang ada. Hitam putihnya birokrasi sangat bergantung pada visi sipemegang kekuasaan politik. Begitu pula di Indonesia, birokrasi pada masa Orla, dan Orba seringkali terjebak pada kepentingan politik praktis. Sejak bergulirnya reformasi yang mengakhiri tatanan Orba, birokrasi dihadapkan pada situasi yang serba sulit. Akibat terjebak politik praktis tersebut (setelah turunnya kepemimpinan nasional 1998) birokrasi turut menuai krisis kepercayaan dari masyarakat. Turunnya wibawa birokrasi menyebabkan terjadi “perlawanan” masyarakat terhadap aturan tata pemerintahan.

Perlawanan tersebut hampir terjadi merata dipelosok di Indonesia, misalnya Pedagang Kaki Lima (PKL) diberbagai kota menolak untuk ditertibkan, penjarahan hutan, penolakan pembayaran restribusi, pengurusakan infrastuktur umum seperti rambu lalu-lintas, telepon umum, bahkan penolakan para pengendara sepeda motor untuk menggunakan helm, seperti yang terjadi di Tasikmalaya pasca kerusuhan. Padahal aturan yang dilanggar tersebut sesungguhnya ditujukan bagi kemanfaatan masyarakat sendiri. Mengapa demikian? karena birokrasi pada masa tersebut sangat identik dengan figur kekuasan politik. Sehingga ketika konstelasi politik berubah drastis, maka image birokrasi-pun turut menanggung getah dinamika politik yang ada.

Berangkat dari pengalaman inilah, paradigma birokrasi perlahan-lahan mulai berubah. Orientasinya diarahkan untuk melayani kepentingan publik, bukan lagi diarahkan untuk melayani kepentingan politik kekuasaan. Visi politik birokrasi hanyalah politik kenegaraan, bukan partisan. Birokrasi harus tetap berdiri, sekalipun kekuasaan bergonta-ganti. Karena perebutan kekuasaan politik adalah wajar dalam sistem demokrasi, akan tetapi lembaga yang menjamin tetap berlangsungnya penyelenggaraan negara harus tetap ada.

Proses menuju kesadaran birokrasi yang berfokus pada pelayanan publik memang tidak serta merta begitu saja berubah. Walupun aturan, sistem keorganisasian, dapat berubah cepat akan tetapi persoalan kebiasaan-kebiasaan yang sudah membudaya khususnya etika birokrasi, persoalan etika tentu membutuhkan adaptasi yang gradual. Lalu langkah-langkah apakah yang dapat mempercepat proses adaptasi tersebut ? Bagaimanakah posisi, peran dan fungsi, birokrasi didalam paradigma pelayanan publik?, lingkungan-lingkungan apakah yang dapat mempengaruhinya ?. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi parameter dalam area pembahasan paper ini.
TINJAUAN TEORITIK
Eksistensi birokrasi secara institusional muncul setelah manusia mulai mengenal bentuk negara modern. Sedangkan sebagai obyek kajian ilmu pengetahuan, kajian birokrasi mulai dilakukan pada waktu sekitar revolusi Perancis pada abad-18 (1976-an). Istilah birokrasi diperkenalkan oleh filosof Perancis Baron de Grimm dari asal kata ”bureau” yang berarti meja tulis dimana para pejabat (saat itu) bekerja dibelakangnya (labrow:1970).

Kita mengetahui dari sejarah bahwa pemerintahan Perancis (dan Eropa lainnya) pada saat itu memiliki kinerja yang sangat buruk, serta mengeksploitasi rakyatnya secara berlebihan. Untuk menyindir kinerja yang buruk itu, dipakailah istilah “bureaumania” yang kemudian memunculkan varian kata bureucatie (Perancis), burocratie (German), burocrazia (Italia) dan bureaucracy (Inggris). Istilah-istilah tersebut itulah yang kemudian dipakai untuk menunjukan pengertian akan pelaksanaan suatu organ/ institusi pelaksana kegiatan pemerintahan dalam sebuah negara, sebagaimana didevinisikan oleh Yahya Muhaimin (1980) bahwa birokrasi adalah “keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang melakukan tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintahan karena statusnya itu”

Walaupun pembahasan dan eksistensi birokrasi muncul seiring dengan eksistensi negara modern, akan tetapi banyak ahli percaya bahwa konsep yang mirip pengertian birokrasi sekarang ini telah dipakai oleh administrasi pemerintahan Romawi, Mesir kuno, dan Cina kuno. Dimana pada saat itu para pejabat kerajaan diseleksi dengan sistem ujian, senioritas dan keahlian. Dalam paradigma pemikiran tentang bagaimana birokrasi lahir, para ahli pemerintahan berpendapat bahwa pada umumnya terdapat dua mainstream pemikiran yakni;
  • a. Birokrasi lahir sebagai alat kekuasaan. Konsep pemikiran ini dipengaruhi oleh Nicollo Machiavelli yang menyarankan bahwa apabila penguasa ingin kekuasaannya berjalan efektif, maka ia harus memiliki organ aparatur yang solid, kuat, profesional dan kokoh. Dengan demikian, birokrasi dibentuk sebagai sarana bagi penguasa untuk mengimplementasikan kekuasaan (power) dan kepentingan (interest) mereka dalam mengatur kehidupan negara. Pada masa kekuasaan monarki, di Jawa tradisional, aparatur birokrasi disebut sebagai “abdi dalem ingkang sinuwun” , sedangkan dalam khasanah tradisional Thailand disebut “ kha-rachakan”. Tugasnya mengejawantahkan titah raja yang merupakan mandataris Tuhan, sehingga pertanggungjawabannya kepada raja bukan kepada rakyat.
  • b. Birokrasi lahir dan dibentuk karena kebutuhan masyarakat untuk dilayani. Kebutuhan akan pelayanan publik (public service) yang dijalankan birokrasi akan seiring dengan kebutuhan kolektif dari para anggota jenis pelayanan masyarakat terhadap jenis pelayanan tertentu. Pada masyarakat pedesaan (rural society) misalnya, kebutuhan kolektifnya akan berbeda dengan masyarakat perkotaan (urban society), sehingga jenis-jenis organ birokrasi yang melayani masyarakat desa akan berbeda dengan masyarakat kota. Masyarakat desa membutuhan organ birokrasi dinas pertanian misalnya, akan tetapi untuk wilayah kota tidak.

Dalam realitas nyata, kedua mainstream tersebut tidaklah berjalan secara murni. Pada setiap negara, pembentukan lembaga-lembaga birokrasi biasanya merupakan hasil perpaduan antara kebutuhan masyarakat sekaligus kebutuhan penguasa. Lembaga semacam CIA di Amerika, KGB di (bekas) Uni Soviet, dan Mossad di Israel cenderung lahir karena kebutuhan penguasa untuk menjalankan pemerintahan secara efektif. Sementara semacam dinas Lingkungan Hidup, Peranan Wanita, Depsos, ada guna melayani masyarakat. Dephan, Deperindag, Depag ada guna melayani keduanya.

Lingkungan masyarakat dan lingkungan politik sangat mempengaruhi corak birokrasinya. Pada negara-negara Asia tenggara yang pernah mengalami masa penjajahan, unsur budaya penjajah masih memiliki pengaruh yang signifikan. Walaupun budaya lokal ada kesamaan yakni budaya Melayu, akan tetapi warna birokrasinya berbeda, tergantung dari pengaruh negara penjajahnya. Menurut Prof. Roger Paget (2000), dari Lewis dan Clark Collage USA, perbedaan style birokrasi di negara Asia Tenggara adalah terlihat dari nilai-nilai sosio-kultural yang dibawa penjajahnya dan dipraktekan bertahun-tahun bahkan berabad-abad. Sehingga walupun sudah merdeka, nilai-nilai itu masih kuat melekat dan mewarnai birokrasi.

B. Etika Birokrasi Perspektif Teoritis
Teori birokrasi dari Max Weber dipercaya oleh sebagian besar ahli politik-pemerintahan sebagai salah satu teori birokrasi utama yang mempengaruhi organ birokrasi di banyak negara di dunia saat ini. “Birokrasi Rasional” Weber (1922) adalah sebuah konsep birokrasi atas dasar kaidah-kaidah otoritas hukum bukan sebab lain seperti otoritas tradisional maupun otoritas kharismatis. Tiga hal sumber otoritas yang didefinisikan Weber adalah :
  1. Otoritas Tradisional. Yaitu bertumpu pada kepercayaan dan rasa hormat pada tradisi, tanpa critical analysis. Sang pemimpin mendapatkan hak-hak istimewa secara otomatis tanpa legalitas pengikutnya.
  2. Otoritas Kharismatis. Yaitu bertumpu pada keyakinan terhadap pengabdian, kepahlawanan, jasa dan kemampuan luar biasa dari seseorang karena dipercaya memiliki kelebihan-kelebihan khusus. Ketaatan otoritas ini bersifat mutlak, dan diikuti secara emosional.
  3. Otoritas Legal. Yaitu otoritas pada keyakinan akan tata hukum yang diciptakan secara rasional dan juga pada kewenangan seseorang untuk melaksanakan tata hukum itu sesuai prosedur yang ditetapkan. Otoritasnya terikat pada prosedur dan ketentuan hukum tersebut. Karenanya ketaatan otoritas ini bersifat impersonal – tidak berkaitan dengan pribadi - .

“Otoritas legal” Weber, menjadi dasar adanya birokrasi rasional yakni lembaga birokrasi yang mendasarkan pada norma-norma yang tercipta secara sadar dan rasional menurut tertib hukum. Agar tercipta otoritas legal, Weber menguraikan 5 (lima) keyakinan dasar yakni:

  1. Undang-undang / peraturan diciptakan, dan menuntut kepatuhan dari anggota organisasi / komunitasnya
  2. Hukum adalah sistem aturan yang abstrak, untuk dapat melaksanakannya diperlukan administrasi yang mengurus aturan-aturan itu dalam batasan-batasan hukum.
  3. Orang yang menjalankan otoritas itu harus mentaati tatanan yang impersonall (memisahkan antara kepentingan tugas dan pribadi)
  4. Orang mentaati hukum adalah karena anggota komunitas bukan karena sebab lain
  5. Keputusan tidaklah kepada yang memegang otoritas melainkan kepada tatanan hukum

Berdasarkan konsepsi keabsahan tersebut, Weber merumuskan 8 (delapan) dalil otoritas legal, yakni:
(1). Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar yang diatur dan berkelanjutan (2). Tugas dibagi dalam tahap-tahap yang berbeda dari segi fungsional sesuai dengan bidang dan tingkatannya. (3)Jabatan diatur secara hierarkis, (4). Aturan-aturan yang mengatur pekerjaan bisa bersifat teknis maupun legal. (5). Sumber-sumber institusi (fasilitas, kewenangan) dibedakan dengan sumber-sumber individu secara pribadi. (6). Pemegang jabatan tidak dapat mengambil jabatannya sebagai milik pribadi. (7). Administrasi didasarkan atas dokumen tertulis (8). Sistem kekuasaan legal dapat memiliki banyak bentuk, tetapi bentuk yang paling murni adalah staf administratif birokratis.

Dari uraian Weber tersebut, adalah sangat kontekstual dengan situasi birokrasi di Indonesia. Secara sistem organisasi memang telah berbentuk birokrasi rasional. Akan tetapi budaya birokrasi – termasuk etika- masih transisional dari sifat-sifat otoritas tradisional dan kharismatis.

Etika di dalam pemerintahan berarti: adalah berkenaan dengan serangkaian pengambilan kebijakan yang menghasilkan norma-norma yang merujuk pada rasa kebenaran dan keadilan bagi warga masyarakatnya sehingga setiap aktifitas pemerintahan akan selalu mempunyai konsekuensi nilai. Maka pada setiap prakteknya, pemerintahan selalu dituntut pertanggungjawaban etis. Etika dalam sistem administrasi publikpun akan mempengaruhi tata cara dan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Sehingga pandangan moralitas pemerintahan secara keseluruhan akan tercermin dalam sikap penerimaan masyarakatnya.

Dalil tersebut menjelaskan bahwa posisi birokrasi dengan “otoritas rasional” Weber-lah yang dikendaki dalam sistem birokrasi yang berwawasan pelayanan publik. Persoalan etika jika diperinci memang banyak faktor yang mempengaruhinya. Mulai dari latar belakang individu, sistem aturan organisasi, hingga sistem politik atau ekonomi. Mengenai persoalan individu, faktor yang mempengaruhinya dapat terlihat dalam penjelasan gambar berikut :


Maka jika ingin melakukan penyesuaian etika birokrat, secara realistis, terlihat bahwa sebagai individu, mereka membutuhkan varibel-variabel yang menunjang ke arah itu. Tidak hanya sekedar perubahan kode etik. Sebagai manusia, birokratpun memerlukan proses yang gradual, karena unsur yang membentuknyapun mempunyai berbagai variabel. Sedangkan birokrasi Indonesia dalam sejarahnya mengalami masa “otoritas tradisional” dan “otoritas kharismatis” yang teramat panjang. Mulai dari orde kerajaan-kerajaan, orde kolonialisme, orla dan orba.

C. Tantangan Demokratisasi Dan Globalisasi Ekonomi
Sejak bergulirnya reformasi, sejak diratifikasinya pasar bebas dan sejak dibukannya kran demokratisasi, seperti kebebasan mendirikan parpol, kebebasan pers, dsb. Birokrasi dihadapkan pada situasi masyarakat yang jauh berbeda dari sebelumnya. Birokrasi dituntut untuk keluar dari arena politik praktis (partisan), birokrasi dituntut untuk transparan dan akuntabel, birokrasi dituntut untuk mengarahkan pelayanannya kepada kebutuhan masyarakat bukan penguasa, yang lebih mempengaruhinya yaitu, birokrasi dituntut untuk profesional, efisien agar sesuai dengan semangat “Pasar”.

Kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar bebas, telah membawa pengaruh yang luar biasa terhadap sistem keorganisasian birokrasi. Langkah-lakah besar diantaranya adalah Privatisasi. Privatisasi merupakan reaksi atas gugatan terlalu dominannya negara terhadap sistem ekonomi, privatisasi diaanggap “obat mujarab” atas tidak efisennya lembaga pemerintah yang bergerak di sektor profit.

Dalam artikel berjudul ”privatization in the united states”, Robert H.Wessel (1999) mengemukakan bahwa ide privatisasi muncul disebabkan adanya fenomena rasa ketidakpuasan terhadap biaya tinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan, serta pelayanan yang buruk dari lembaga publik.

Birokrasi terlalu besar, terlalu kuat, mencampuri urusan masyarakat. Hal ini berbahaya bagi proses demokrasi, karena keputusan pemerintah biasanya bersifat politis, sehingga kurang dipercaya dibanding keputusan pasar bebas.

Banyak peran pemerintah yang bersifat ekonomis dapat langsung ditangani oleh swasta. Banyak bidang dan aset birokrasi yang dapat lebih baik ditangani oleh swasta

Rakyat seharusnya memiliki banyak pilihan dalam pelayanan publik dan tidak terlalu bergantung pada birokrasi.

Alasan pragmatis. Alasan ini mengemuka ketika pemerintah menghadapi masalah yang dilematis saat biaya penyelenggaraan meningkat. Sementara disisi lain rakyat menolak adanya peningkatan pungutan pajak. Biasanya, alternatif tindakan pemerintah yang dilakukan adalah pengetatan anggaran. Bila langkah ini tidak memadai juga maka akan melakukan pinjaman, bila juga tidak memadai langkah yang ditempuh adalah mengurangi aktifitas baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Namun langkah terakhir ini seringkali mengundang cemooh dari masyrakat. Privatisasi dapat memancing produktifitas birokrasi serta ketersediaan modal.

Alasan Ideologis. Peranan negara yang terlalu dominan akan mengakibatkan citra yang buruk dimata masyarakatnya. Karena akan mengancam kebebasan individual, memicu ketidakadilan, dan mengurangi efisiensi dalam pencapaian tujuan. Terlebih jika unsur politispun masuk didalamnya, maka peranan masyarakat akan lemah.

Alasan komersil. Pengeluaran pemerintahan sebagian besar ditujukan untuk pembayaran pegawai. Selain itu aktifitas pekerjaan komersiil rutin, seperti membangun infrastuktur (fasilitas publik), memungut sampah, operasioanal bandara, pelabuhan, dll. Sayangnya seringkali terjadi miss management akibat kurang baiknya kinerja. Padahal, semua pekerjaan tersebut dapat ditangani pihak swasta secara lebih profesional. Dengan alasan inilah maka langkah privatisasi dijadikan alternatif pilihan.

Alasan populis. Berbagai hal yang dilakukan pemerintah sesungguhnya dapat pula ditangani oleh masyarakat. Oleh karenanya tekanan terhadap tuntutan tersebut seringkali dikatakan sebagai tuntutan kebebasan berkreasi dan pemberdayaan. David Osborne dan Ted Gaebler (1993) berpendapat bahwa privatisasi berkaitan dengan transformasi nilai dan semangat kewirausahaan dalam sektor publik. Sedangankan menurut E.S. Savas, privatisasi dimaksudkan sebagai tindakan untuk mengurangi peranan pemerintah dalam pengelolaan dan kepemilikan aset-aset.

D. Kendala-Kendala Birokrasi
Fungsi utama birokrasi seringkali tidak terwujud optimal. Bahkan kinerja birokrasi sering mengalami pelencengan (disorientasi) dari tugas pokoknya. Penyebabnya bisa berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor-faktor penghambat tersebut menyebabkan birokrasi bergerak lambat, tidak efisien, berbelit-belit, boros, tidak memiliki standar kepastian kerja. Jika dikelompokan, ada tiga faktor utama kendala birokrasi, yakni kendala politis, kendala administratif, dan kendala sosial budaya.

Kendala politis, mencakup aspek-aspek kekuasaan, yang dimiliki oleh institusi birokrasi itu sendiri. Karena birokrasi memiliki aset dan sumber kekuasaan yang besar dan (tidak) dimiliki pihak-pihak lain maka munculah penyalahgunaan wewenang dan monopoli wewenang. Akibatnya kontrol langsung dari masyarakat sulit dilakukan, situasi yang serba tertutup tersebut memungkinkan untuk terjadinya penyalahgunaan mulai dari rekruitmen pegawai hingga pelaksanaan programnya.

Kendala administrasi, berkenaan dengan regulasi yang kaku, sehingga sering menjadi batasan-batasan yang mempersempit dan memperlambat gerak birokrasi. Akibatnya kinerja birokrasi menjadi tertinggal jika menghadapi kasus yang membutuhkan penanganan segera. Hal lainnya adalah, akibat penekanan aspek legalitas birokrasi sering menepatkan form (bentuk formal) dari pada esensi. Akibatnya, birokrasi sering terjebak pada angka, jumlah, dan realitas permukaannya saja tidak mengena pada esensinya.

Kendala sosial budaya. Sikap mental yang berorientasi pada membelanjakan dari pada menghasilkan seringkali ditemui di birokrasi. Dasar anggapannya karena anggaran dan fasilitas yang dimiliki mereka adalah milik negara sehingga cenderung ceroboh dan berbiaya tinggi. Akibatnya dalam tatanan global yang serba cepat dan akurat, birokrasi terus tertinggal, konsep, kebijakan dan pola kerja yang disusun menjadi cepat kadaluwarsa sehingga berpengaruh terhadap kinerja pelayanan. Hal lainnya yang masih tersisa adalah praktek budaya feodal. Budaya feodal ini juga potensial dalam membiaskan fungsi birokrasi.


KESIMPULAN
  1. Birokrasi Indonesia dipengaruhi oleh warna birokrasi yang bercorak kolonial Belanda. Sehingga pengaruh “politik kekuasaan” (kerajaan/partisan) masih meninggalkan dampak terhadap budaya pelayanan. Otoritas Tradisional dan otoritas Kharismatis sebagaimana dikatakan Weber, masih merupakan bagian yang seringkali ditemukan dalam Birokrasi.
  2. Transisi dari birokrasi yang mengabdi pada kepentingan kekuasaan menjadi pada pelayanan publik, jika dilihat pada kasus Birokrasi Indonesia yang sudah sekian lama mengalami masa sistem kolonial, sistem Orla dan sistem Orba maka diperlukan proses pengadaptasian budaya. Adaptasi budaya yang dimaksud adalah penyesuaian terhadap instrumen otoritas rasional. Sistem dan struktur, kebijakan bisa dirubah dalam waktu cepat, namun untuk dapat membentuk sikap mental (etika) sebagaimana kehendak aturan tersebut, memerlukan pendampingan, pengawasan yang konsisten dan bertanggung jawab.
  3. Paradigma politik-birokrasi yang sentralistis pada masa lalu, lalu kemudian muncul otonomi daerah dibarengi dengan tuntutan efisisensi, transparansi serta akuntabilitas tinggi. Membuat mesin birokrasi yang terbiasa bergantung pada pusat kini harus mampu memilah tata kerja seperti apa yang fungsional dan up to date dengan kebutuhan pelayanan di wilayahnya. Dalam hitungan kurun waktu baru empat tahun (sejak 2001) otda diberlakukan, serta berbagai perubahan mendasar yang menyertainya (dengan alasan penyempurnaan), maka masih terlalu singkat waktu, untuk mencapai tuntutan sebagaimana yang dikehendaki diatas.
  4. Globalisasi ekonomi yang berdampak pada privatisasi (sebagian) usaha komersiil sektor publik, demokratisasi politik yang berdampak dengan munculnya berbagai parpol di parlemen dengan orientasi ideologi/kepentingan politiknya sendiri-sendiri, lalu kebebasan pers yang menuntut transparansi kebijakan serta kewenangannya dalam membentuk opini terhadap kinerja birokrasi. Adalah faktor-faktor lingkungan eksternal yang mempengaruhi percepatan perubahan budaya birokrasi.
  5. Hubungan antara birokrasi sebagai fungsi pelayanan publik, serta masyarakat yang dilayaninya tentu haruslah saling menunjang. Variabel hubungan antara birokrasi-masyarakat bukan hubungan sebab-akibat secara sepihak. Birokrasi tidak mungkin mampu untuk melaksanakan program pelayanan secara optimal jika masyarakatnya sendiri tidak ada keinginan untuk berpartisipasi secara “rasional” dalam setiap upaya yang dilakukannya. Birokrasi akan tetap kembali pada “kebiasaan lamanya” ketika masyarakat sendiri tidak turut untuk mendukung perubahannya. Misalnya, memberikan uang sogokan agar mendapatkan pelayanan prioritas, karena ia tidak bersedia menunggu atau mengantri untuk dilayani aparatur.
Rekomendasi
  1. Birokrasi harus membisakan diri untuk tampil dalam hajat hidup publik dengan metode kemitraan bukan metode perintah atau instruktur. Dengan demikian aparat birokrasi akan turut merubah perilakunya sesuai dengan metode mitra tersebut. Di mata masyarakatpun, Brand-Image tentang birokrasi lambat laun akan berubah, sehingga kehadiran birokrasi dimasyarakat bukanlah menjadi ketakutan/beban administratif, tetapi justru membantu meringankan kepentingannya.
  2. Kaitannya dengan partipasi masyarakat, birokrasi harus dijadikan sebagai institusi terbuka, perlibatan masyarakat terhadap suatu program kebijakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan justru akan meringankan tugas birokrasi. Karena sesungguhnya program yang dikerjakan birokrasi menyangkut kepentingan umum. Sehingga kesalahpahaman dalam implementasi program dapat diminimalisir maka programpun akan berjalan efektif-efisien.
  3. Kemampuan sumber daya manusia SDM birokrasi (terutama di daerah) sangat terbatas. Akan tetapi kuatnya arus investasi usaha terhadap lahan-lahan yang ada didaerah seringkali berjalan dengan tidak memadai. SDM birokrasi di daerah masih tertinggal jika dibandingkan dengan sektor usaha privat yang membutuhkan pelayanan publik diwilayahnya. Oleh karenanya, seringkali terjadi kasus dimana sektor privat “mendikte” birokrasi (yang bisa saja berakibat masyarakat umum dirugikan) dan birokrasi menanggung kesalahannya. Akibat minimnya pendidikan (dan wawasan), birokrasi seringkali merasa “inferior” terhadap sektor privat. Maka itu pendidikan untuk meningkatkan kemampuan pelayanan publik bagi SDM birokrasi di daerah mendesak untuk dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA


Weber, Max, 1922, Theory of social and economic organizations, New York; Oxford University.

Sigit, Soehardi, Dr, Prof, 2003, Perilaku Organisasional, Taman Siswa, Yogyakarta.

E.S. Savas, 1987, Privatization, the key to better government, Chatam; New Jesrey. Chatam House Publishers, Inc.

Sarundajang,SH, 2002, Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Jones, O, Charles, 1984, An Introduction To The Study Of Public Policy, California, Wadsworth Inc.

Sulistomo, Djoko , 1999, Transisi Birokrasi di Indonesia , Artikel Kompas, Jakarta