Kebijakan Tata Ruang




PENGARUH KOMUNIKASI, SUMBERDAYA, DISPOSISI  DAN 
STRUKTUR BIROKRASI TERHADAP PERKEMBANGAN 
PROGRAM PUSAT KEGIATAN NASIONAL (PKN)

(STUDI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TATA RUANG PROVINSI JAWA BARAT 
DI WILAYAH PKN METROPOLITAN BANDUNG) 
 Penelitian tahun 2006-2007

ABSTRAK

            Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Jawa Barat 2010 terdapat program perencanaan yang khusus diperuntukkan guna mengatur sistem pertumbuhan perkotaan, yaitu Rencana Program PKN Metropolitan Bandung yang terdapat di 2 (dua) wilayah Pemerintahan Daerah otonom, yakni Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Secara hierarkis,  Pemerintahan Provinsi mempunyai kewenangan untuk mengatur program pembangunan yang bersifat lintas daerah. Akan tetapi, pada sisi lain, pemerintahan Kota maupun pemerintahan Kabupaten mempunyai otonomi atas kebijakan pembangunan diwilayahnya masing-masing. Situasi ini menjadi masalah ketika terjadi kontradiksi kepentingan antara pemerintahan provinsi dengan pemerintahan kota atau kabupaten.
           
            Kontradiksi kepentingan yang mengemuka diantaranya adalah menyangkut perbedaan urutan prioritas dalam sistem perencanan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, hal ini menyebabkan tersendatnya kelancaran pelaksanaan kebijakan program PKN ini, sementara pada tingkat para pelaksana teknis (leading sectors), hubungan kerjasama yang akseleratif sangat mutlak diperlukan, hubungan kerjasama yang dimaksud bisa bersifat horisontal (sesama unsur pemerintahan yang setingkat) maupun vertikal  (antara Pemkab/Pemkot dengan Pemprov).
           
            Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif & kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel dan menguji variabel tersebut sesuai dengan hipotesis yang dirumuskan. Sementara metode kualitatif digunakan sebagai penunjang yang diharapkan dapat membantu interpretasi hubungan antar variabel terutama alasan bagi hubungan tersebut
           

            Hasil penelitian menujukkan pengaruh yang diberikan oleh keempat faktor tersebut terbukti secara nyata mempengaruhi perkembangan program PKN Metropolitan Bandung. Sementara, faktor komunikasi merupakan faktor yang paling lemah berperan didalam pelaksanaan program PKN Metropolitan Bandung Kelemahan ini mengandung arti bahwa hubungan antar dan lintas pemerintahan memerlukan kordinasi dan sosialisasi yang lebih intensif lagi.  Hasil ini diperkuat dengan fakta di lapangan tentang tidak terdapatnya lembaga yang bersifat lintas pemerintahan, yang secara khusus mempunyai kewenangan dalam menangani PKN Metropolitan Bandung ini.



PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian
Implementasi kebijakan merupakan proses yang krusial dalam kebijakan publik. Tanpa adanya implementasi kebijakan, sebuah kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan diatas meja para pejabat. Begitupun halnya dengan kebijakan Tata Ruang Wilayah Provinsi Jabar, yang telah menjadi Peraturan Daerah No.2 tahun 2003, jika tidak terimplementasi sebagaimana yang direncanakan, maka program tersebut hanyalah akan menjadi sebuah kebijakan program tanpa kejelasan manfaatnya. 

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (UUPR), ditindaklanjuti dengan PP.No.47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN), paradigma pembangunan di Indonesia mulai menujukan pergeseran menuju suatu model pembangunan yang lebih transparan, terencana serta lebih mengedepankan pendekatan partisipasif. Seiring dengan bergulirnya UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka asas disentralisasi dan dekonsentrasi dalam pembangunan di daerah memungkinkan bagi pemerintahan daerah untuk menetapkan rencana pembangunannya sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan masyarakatnya. 

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat (RTRWP Jabar) adalah rencana struktur tata ruang provinsi yang mengatur struktur dan pola tata ruang wilayah provinsi. Fungsi Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi Jawa Barat adalah sebagai penyelaras kebijakan penataaan ruang Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota serta sebagai acuan kebijakan pembangunan daerah (Rencana Pembangunan Lima Tahunan, Rencana Pembangunan Tahunan, Rencana Anggaran Pembangunan Daerah) ditingkat provinsi, khususnya yang mengatur struktur dan pola tata ruang wilayah. Kehendak yang ingin diwujudkan dalam perencanaan ketataruangan tersebut adalah konsep pembangunan yang terpadu, berjenjang, dan partisipatif. Terpadu dalam pengertian adanya kesatuan dalam perencanaan dan pelaksanaannya; berjenjang dalam pengertian adanya keselarasan antara perencanaan nasional, Provinsi, dan kabupaten/ kota; dan partisipatif dalam pengertian membuka peluang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta dalam setiap tahap pelaksanaannya. 

Manifestasi nilai-nilai dari konsep terpadu bertujuan untuk mengintegrasikan antara kepentingan pembangunan dengan konsepsi bentuk kenegaraan Republik Indonesia yang menganut asas negara kesatuan (NKRI), konsep berjenjang bertujuan agar sistem pembangunan berjalan sesuai dengan porsi strata pemerintahan, mulai dari pemerintahan nasional, pemerintahan provinsi, hingga pemerintahan kabupaten / kota. Sedangkan konsep Partisipatif  bertujuan agar arah mekanisme pembangunan dimulai dari aspirasi masyarakat (bottom up), sehingga dalam hal ini pemerintahan berfungsi sebagai fasilitator dengan semangat pengelolaan sistem organisasi yang terbuka dan transparan.

Dengan mengacu kepada RTRWN, maka melalui Perda No.2. Tahun 2003 ditetapkanlah RTRWP Jabar. Kebijakan tersebut telah menempatkan fungsi RTRWP Jabar sebagai pedoman untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah provinsi serta keserasian antar sektor, pedoman penataan ruang wilayah kabupaten/kota, dan pedoman pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan atau masyarakat.  Lingkup substansi RTRWP Jabar secara garis besar meliputi struktur dan pola tata ruang yang didasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam rangka mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Adapun dimensi waktu perencanaan RTRWP Jabar ini adalah sampai dengan tahun 2010. Hal ini sesuai dengan pencapaian Visi Jawa Barat tahun 2010 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 yang menetapkan dimensi waktu perencanaan tata ruang provinsi adalah 15 tahun (RTRWP Jawa Barat 2010 sebagai hasil revisi RTRW DT I Provinsi I Jawa Barat tahun 1994 sebelum Banten menjadi provinsi tersendiri).

Pengaturan sistem kota-kota sebagai perwujudan dari struktur tata ruang di wilayah Jawa Barat, didalam blueprint Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jabar dibagi menjadi 3 (tiga) pusat pertumbuhan utama yang jangkauan pelayanannya mencakup skala pelayanan nasional, yaitu Metropolitan Bodebek (Bogor-Depok-Bekasi), Metropolitan Bandung (Kota/Kab Bandung-Sumedang), dan Metropolitan Cirebon (Kota dan Kabupaten Cirebon). Pusat pertumbuhan utama ini selanjutnya dikatakan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Definisi dari PKN adalah :

“Kota yang mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional dan mempunyai potensi untuk mendorong daerah sekitarnya sebagai pusat jasa, pusat pengolahan, simpul transportasi yang melayani beberapa provinsi dan nasional, dengan kriteria penentuan : kota yang mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan untuk mendorong daerah sekitarnya, pusat jasa-jasa pelayanan keuangan/bank yang cakupan pelayanannya berskala nasional/beberapa provinsi, pusat pengolahan/pengumpul barang secara nasional/beberapa provinsi, simpul transportasi secara nasional/beberapa provinsi, jasa pemerintahan untuk nasional/beberapa provinsi, jasa publik yang lain untuk nasional/beberapa provinsi” (Penjelasan PP No.47 tahun 1997 tentang RTRWN, Bab III Pasal 14 ayat 3).


Dari ketiga wilayah PKN tersebut penulis telah memilih wilayah PKN Metropolitan Bandung sebagai obyek penelitian dalam tesis ini. PKN Metropolitan Bandung di dalam RTRWP Jabar 2010 tercantum 8 (delapan) aspek pengembangan dan penataan program pembangunan yaitu :
a. Pembangunan terminal terpadu di Gedebage.
b. Pembangunan TPA regional di Pasirdurung.
c. Peningkatan kapasitas pelayanan Bandara Hussein Sastranegara.
d. Pembangunan terminal agribisnis di Lembang.
e. Pengembangan IPLT di Kota Bandung.
f.  Pembangunan rumah susun di Kota Bandung.
g. Peningkatan kapasitas pelayanan air bersih di kawasan perkotaan.
h. Pengembangan angkutan massal di Metropolitan Bandung.
(RTRWP Jabar 2010, hal.80, Bapeda Jabar)

Kedelapan aspek inilah yang akan menjadi indikator dari perwujudan kebijakan PKN Metropolitan Bandung. Sebagaimana peruntukan sebuah wilayah PKN, maka kordinasi antar pemerintahan mutlak diperlukan. Kordinasi yang dimaksud disini adalah hubungan kerjasama antara Pemerintahan Nasional, Pemerintahan Provinsi Jawa Barat, Pemerintahan Kota Bandung, serta Pemerintahan  Kabupaten Bandung. 
Masalah yang melatarbelakangi penelitian ini adalah, pada prakteknya dilapangan, muncul ketidaksesuaian antara implementasi tata ruang kota/kabupaten dengan yang dikehendaki didalam kebijakan tata ruang Provinsi Jabar. Pada konteks PKN Metropolitan Bandung, yang mencakup 2 wilayah yakni Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, terdapat kecenderungan permasalahan yang sama yakni adanya inkonsistensi diantara dua level produk kebijakan tata ruang tersebut.

Didalam mengkaji masalah yang berkaitan dengan implementasi kebijakan, George Edwards III, dalam bukunya berjudul Implementing Public Policy, 1980. Menggunakan dua pertanyaan kunci tentang implementasi yakni: “What are the preconditions for successful policy implementation?”,  “What are the primary obstacles to successful policy implementation?”. (9:1980). Dalam bahasa Indonesianya: “Prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil?”, serta “Hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal?”. 

Edwards kemudian berusaha menjawab dua buah pertanyaan penting ini dengan mengungkap empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik. Faktor tersebut adalah Communication (komunikasi), Resources (sumber daya), Dispositions (disposisi), serta Bureaucratic Structure (struktur birokrasi). Karena keempat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain dalam membantu atau menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan yang ideal adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas semua faktor-faktor itu sekaligus.

Persoalan ketidakkonsistenan didalam suatu implementasi kebijakan seperti yang terjadi dalam tata ruang wilayah Jabar tentang PKN di Wilayah Metropolitan Bandung ini, Lester & Stewart, dalam buku Public Policy: an Evolutionary Approach, 2000,  telah mengingatkan tentang kerumitan dan kompleksitas suatu proses implementasi. Kerumitan tersebut disebabkan oleh banyak faktor, baik yang menyangkut karakteristik program maupun aktor-aktor yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan. Menurut Lester & Stewart : 
“Pelaku dalam implementasi kebijakan meliputi birokrasi, legislatif, lembaga peradilan, kelompok penekan dan komunitas organisasi. Masing-masing pelaku kebijakan ini mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, sehingga penerimaan terhadap suatu implementasi kebijakan akan beragam”. (105:2000)  

Sebagai tinjauan historis, Pasca UU No.22 tentang Otonomi Daerah 2001 diterapkan, muncul persoalan dibidang sistem kordinasi pemerintahan antara provinsi dengan Kabupaten/kota. Padahal realitasnya, banyak aspek yang saling ketergantungan (inter-dependensi) antara wilayah kabupaten/kota yang satu dengan wilayah kabupaten/kota yang lainnya. Misalnya, dalam aspek daya dukung alam seperti hutan, sungai,dsb. Wilayah lingkungan alam tersebut tidak bisa dipisahkan sebagaimana mudahnya pembagian administratif, akan tetapi penanganannya harus ditangani secara terpadu antar pemerintahan daerah. Jika tidak, maka dikhawatirkan akan terjadi eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran dengan dalih meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun merusak sistem ekologi yang ada diwilayah tersebut. Begitupun dampak negatif lainnya mungkin dapat terjadi dibidang ekonomi bahkan Hankam. UU No.22, Tentang Otda tahun 2001 tersebut kemudian direvisi dengan UU. No.32, Tentang Pemerintahan Daerah 2004, dimana kedudukan Pemerintahan Provinsi mempunyai kewenangan politik yang lebih besar terhadap pemerintahan kabupaten/kota. Berkenaan dengan hal inilah, RTRWP Jabar seyogyanya dapat lebih mempunyai daya akomodasi yang lebih besar terhadap perencanaan, penyusunan serta pelaksanaan program pembangunan di wilayah kabupaten/kota. 

Proses penyusunan RTRWP Jabar 2010 sebagaimana yang tercantum didalam lampiran blueprint yang diterbitkan oleh Bappeda provinsi Jabar telah melalui tahapan-tahapan yang sistematis, yakni (A) Proses Input Aspirasi Publik, (B). Proses Penyusunan Draft, serta (C). Proses Kesepakatan Publik. Pemerintahan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat turut terlibat dalam proses penyusunan RTRW Provinsi Jabar ini. Lembaga swadaya masyarakat dan akademisi juga turut serta. Artinya, bahwa keberadaan RTRW Provinsi Jabar ini merupakan produk kebijakan yang berangkat dari hasil konsensus bersama dari berbagai elemen di Jawa Barat. Jika dikaitkan dengan disiplin ilmu kebijakan publik, maka secara teoritis tahapan ”perumusan kebijakan” telah dilalui.

Konsepsi ketata-ruangan haruslah merupakan konsep yang terintegrasi berdasarkan hierarkis pemerintahan, namun kendala yang muncul adalah kuatnya segmentasi kedaerahan yang terjadi di pemerintahan Kabupaten/Kota. Hal tersebut menimbulkan adanya ketidaksesuaian antara perencanaan tata ruang Kabupaten/Kota dengan perencanaan tata ruang provinsi. Dengan interpretasi masing-masing tentang perencanaan tata ruang, setiap Kabupaten/Kota mengembangkan kebijakan pembangunan jangka menengah dan jangka pendek kedalam program pembangunannya masing-masing. 

PKN Metropolitan Bandung, adalah merupakan program yang menyangkut kepentingan nasional, kepentingan provinsi, serta kepentingan wilayah Kabupaten dan kota Bandung. Karenanya, kerjasama antara ketiga komponen pemerintahan ini mutlak diperlukan. Guna menelaah fenomena tersebut, peneliti mempergunakan telaah Deskriptif, yakni dengan cara menganalisa parameter-parameter yang dipandang sebagai determinan, tujuannya ialah mempunyai gambaran secara menyeluruh mengenai faktor-faktor pengaruh dalam implementasi rencana PKN Metropolitan Bandung tersebut. 

Berdasarkan target waktu pencapaiannya dalam RTRWP Jabar, PKN Metropolitan Bandung, harus sudah terimplementasi dan terwujud pada tahun 2010. Mempelajari implementasi kebijakan menurut Samodra Wibawa adalah merupakan suatu analisis yang bersifat evaluatif, dengan konsekuensi lebih melakukan restropektif ketimbang prospeksi. Implementasi berusaha mengenali sejauh mana efek yang semula direncanakan untuk dicapai oleh kebijakan telah terealisir, dan dampak apa yang ditimbulkan olehnya. Evaluasi mempunyai tujuan ganda yakni (a) memberikan informasi kepada pembuat kebijakan tentang bagaimana program-program mereka berlangsung atau dijalankan, dan (b) menunjukan faktor-faktor yang dapat dimanipulasi (diubah) agar supaya diperoleh pencapaian hasil secara lebih baik, untuk kemudian memberikan alternatif kebijakan baru atau cara baru dalam implementasi kebijakan. 

1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah ditetapkan dalam pernyataan penelitian (research statement) yang mengandung unsur deskripsi umum, khusus, fenomental beserta sekuennya, fenomena pada lokus penelitian adalah: “Faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi implementasi kebijakan belum optimal mempengaruhi perkembangan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) di wilayah metropolitan Bandung” 
Pernyataan penelitian tersebut dijabarkan menjadi rumusan masalah (problem question) sebagai berikut :
1.Bagaimanakah pengaruh komunikasi terhadap perkembangan PKN di wilayah Metropolitan Bandung ?
2.Bagaimanakah pengaruh sumberdaya terhadap perkembangan PKN di wilayah Metropolitan Bandung ?
3.Bagaimanakah pengaruh disposisi terhadap perkembangan PKN di wilayah Metropolitan Bandung ?
4.Bagaimanakah pengaruh struktur birokrasi terhadap perkembangan PKN di wilayah Metropolitan Bandung ?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis perkembangan PKN di wilayah Metropolitan Bandung dengan mempergunakan model yang dikemukakan oleh Goerge Edwards III, tentang faktor-faktor kritis (critical factors) yang mempengaruhi suatu produk implementasi kebijakan. Faktor-faktor kritis tersebut adalah komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi.

1.3.2 Tujuan Penelitian
1. Mengkaji dan menganalisis tentang permasalahan perkembangan PKN di Wilayah Metropolitan Bandung sehingga diperoleh informasi ilmiah tentang faktor-faktor yang menjadi kendala didalam implementasi kebijakan tersebut.
2. Meninjau implementasi kebijakan PKN Metropolitan Bandung dari sisi hubungan interaksi dan kerjasama para pelaksana kebijakan di pemerintahan provinsi Jawa Barat dengan pemerintahan Kota Bandung & Kabupaten Bandung.

1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoritis
Menjabarkan, menguji dan mengeksplanasi teori atau model Implementasi kebijakan, dalam suatu kasus kebijakan yang telah diimplementasikan. Sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan studi ilmu Kebijakan Publik, serta bagi kepentingan penelitian lebih lanjut.
1.4.2. Kegunaan Praktis

Memberikan perspektif hasil penelitian kepada para pengambil kebijakan mengenai evaluasi program PKN Metropolitan Bandung. Penelitian ini juga diharapkan dapat merekomendasikan suatu model kordinasi kebijakan, yang mungkin bermanfaat bagi kepentingan kebijakan publik disektor lainnya.